Perjuangan Anak-Anak Sekolah Di Berbagai Negara yang Patut di Apresiasi

Perjuangan Anak-Anak Sekolah Di Berbagai Negara yang Patut di Apresiasi

9 August, 2021

Bagi sebagian orang, mengenyam pendidikan merupakan sesuatu hal yang sangat mudah. Namun tidak untuk anak-anak di berbagai daerah terpencil di dunia ini. Cuaca yang ekstrem, minimnya akses transportasi serta langkanya institusi pendidikan menjadi beberapa alasan untuk anak-anak sulit menjangkau sekolahnya. Meski begitu, semangat mereka untuk bersekolah tak pernah padam. Untuk dapat merasakan bangku sekolah, mereka rela melewati pinggir tebing yang curam, menyebrangi arus sungai yang begitu deras, menyusuri hutan penuh binatang buas dan berjalan 4 hingga 6 hari untuk bisa sampai ke sekolah. Berikut ini perjuangan anak-anak sekolah di berbagai dunia yang patut kita apresiasi.

by Diella Yasmine

 

Image by Sasin Tipchai from Pixabay

 

Anak-anak di Desa Atuler, Provinsi Sichuan

Jauh di sebelah barat daya China, tepatnya di Provinsi Sichuan terdapat sebuah desa berusia 200 tahun, Atuleer. Terletak di balik tebing, desa yang dulunya amat terisolasi ini mulai menarik banyak perhatian pada tahun 2016 ketika media nasional Beijing News merilis foto-foto mengejutkan. Letak desa yang jauh dari berbagai fasilitas memadai menjadi sebuah tantangan besar bagi anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Untuk pergi ke sekolah, mereka harus meregang nyawa menuruni anak tangga yang terletak di pinggir tebing setinggi 800 meter. Warga setempat menyebut tangga reyot yang terbuat dari kayu ini dengan sebutan ‘tangga langit’. Karena perjalananya yang sulit, anak-anak ini hanya pulang ke rumah dua kali dalam sebulan. Namun tetap saja, mereka harus menepuh perjalanan mematikan selama dua jam. Tidak hanya sekolah, warga desa pun harus menempuh perjalanan yang sama untuk menjual hasil pertanian mereka ke pasar terdekat. Melihat kondisi ini, pemerintah China memberi perhatian khusus dan mengganti tangga tersebut dengan tangga baja yang lengkap dengan pegangan tangan untuk mempersingkat waktu perjalanan. Meski banyak warga yang memutuskan untuk meninggalkan desa, beberapa di antaranya masih tinggal dan melanjutkan tradisi turun temurun.

 

Anak-anak di daerah Oymyakon, Rusia

Merupakan wilayah terpencil di Siberia, suhu dingin yang ada di daerah kecil ini tidak bisa dianggap main-main. Oymyakon di wilayah Yakutia adalah pemukiman dengan udara dingin ekstrem yang menusuk dengan 500 penduduk dan memiliki reputasi sebagai tempat terdingin di Bumi. Pada musim dingin rata-rata suhu bisa mencapai -67,8 derajat Celcius dan pada musim panas temperatur menyentuh 20 hingga 30 derajat Celcius.

Letak Oymyakon sendiri sangatlah terpencil dan berlokasi lebih dekat dengan Lingkaran Arktik dibandingkan dengan kota besar. Untuk keluar rumah, warga setempat harus mengenakan 5 hingga 6 lapis pakaian serta kaus kaki tebal yang biasanya terbuat dari bulu binatang. Tidak hanya berkegiatan sehari-hari, untuk pergi ke sekolah pun anak-anak harus berjalan kaki selama satu hingga tiga jam untuk menunggu jemputan. Di kota kecil ini, hanya ada satu sekolah dan satu bus. Jika cuaca di luar terlalu ekstrem, anak-anak ini pun terpaksa harus tinggal di rumah. Tidak hanya itu saja, jika bus berhenti beroperasi karena mogok, ada kemungkinan besar jika mereka mati kedinginan di tengah jalan.

 

Anak-anak di Gurun Danakil, Ethiopia

Dikenal sebagai tempat terpanas di bumi, Danakil yang terletak di Ethiopia ini merupakan kawasan gurun dengan bebatuan warna-warni yang dihasilkan dari belerang, sulfur, mineral dan garam. Area yang disebut sebagai “Pintu Gerbang Neraka” ini memiliki rata-rata temperatur 40 derajat celcius pada musim dingin dan 60 derajat Celcius pada musim panas.

Selain suhunya yang ekstrim, Danakil juga menjadi salah satu titik terendah bumi dengan ketinggian 125 meter di bawah permukaan laut. Hal ini dikarenakan Danakil dibentuk oleh Afar Triple Junction, pertemuan tiga retakan lempeng tektonik yang membelah Ethiopia, Eritrea dan Djibouti. Retakan tersebut pun masih terus aktif dan menjadi yang terbesar di bumi sampai saat ini. Saking aktif dan besarnya, Danakil diprediksi akan tenggelam menjadi samudera 10 juta tahun kedepan.

Lanskapnya yang keras membuat orang enggan berkunjung maupu menempati daerah tersebut, namun gurun ini adalah rumah dari tradisi budaya yang hampir punah, yaitu kafilah unta yang mengangkut garam melalui padang pasir, yang dipipimpin oleh suku Afar yang hidup berpindah-pindah.

Bagi anak-anak di Gurun Danakil, sekolah merupakan hal yang istimewa. Berdasarkan budaya setempat, hanya anak laki-laki saja yang diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan sementara anak-anak perempuan harus berada di rumah dan mengemban tugas menjaga hewan peliharaan mereka. Kendati demikian, banyak juga keluarga yang memiliki pemikiran terbuka dan anak-anak perempuan mereka bisa bersekolah.

Perjalanan untuk mencapai ke sekolah pun tidak mudah. Anak-anak tersebut harus berjalan menyusuri gurun di bawah terik matahari tanpa air dan alas kaki dan letak sekolah yang jauh dari rumah membuat mereka kelelahan. Tidak hanya itu saja, beberapa anak laki-laki harus ikut bekerja di ladang garam untuk membantu ayah mereka mendapatkan penghasilan lebih guna bertahan hidup.

 

Anak-anak Zanskar, Himalaya India

Kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan juga dirasakan oleh anak-anak di Zanskar, Himalaya India. Daerah yang tertutup salju ini sangatlah sulit di lalui. Untuk berpergian, mereka harus melalui tebing-tebing es licin serta arus sungai dari Indus di Himalaya India yang disebut dengan Chadar.

Dalam beberapa kesempatan, es tersebut kadang menjadi tipis dan mereka berisiko jatuh ke air yang sangat dingin di bawahnya. Jika hal tersebut terjadi, suhu dingin ekstrim akan menjalar ke tubuh kecil mereka. Tak lama berselang, hiperventilasi (sesak nafas) pun terjadi, tubuh pun tenggelam ditelan air dan meninggal. Tidak hanya itu saja, tergelincir atau tersandung pun bisa berakibat fatal.

Untuk mencapai sekolah pun membutuhkan perjuangan lebih dikarenakan perjalanan tersebut memakan 4 hingga 6 hari sehingga anak-anak ini harus berangkat dengan ayah atau ibu mereka. Toko makanan pun tak tersedia, jadi mereka harus membawa perlengkapan menginap seperti tenda, alat masak serta cadangan makanan selama perjalanan.

 

Anak-anak di tepi sungai Escondido, Nikaragua

Nikaragua adalah negara termiskin kedua di Benua Amerika setelah Haiti. Tak heran jika negara berpenduduk 6,1 juta orang ini memiliki masalah dengan tingginya angka anak-anak yang putus sekolah. UNESCO mencatat ada sekitar dua juta anak usia sekolah di Nikaragua dan setengah dari mereka hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, UNICEF memproyeksikan sekitar 500 ribu anak berusia 3-17 tahun di Nikaragua tidak pernah mengenyam pendidikan.

Sebagian besar mereka tinggal di daerah miskin pedesaan dan terpaksa menghabiskan masa-masa sekolahnya dengan bekerja. Hal ini juga didukung oleh survey yang diadakan pada tahun 2005 yang menunjukkan bahwa ada 240 ribu anak usia 5-17 tahun bekerja untuk menyambung hidup di Nikaragua.

Kendati demikian, terapat pula anak-anak yang memiliki semangat juang tinggi untuk bersekolah. Anak-anak yang tinggal di tepi sungai Escondido ini harus melewati hutan tropis penuh dengan binatang buas dan beracun serta arus sungai deras yang mampu merenggut nyawa mereka. Jika hujan turun dengan lebatnya, mereka pun juga harus memperketat kemanan mereka dua kali lipat karena ada kemungkinan mereka akan kehilangan arah dan hanyut terbawa arus sungai.